2 Manusia Super di Jembatan Setiabudi

Saya mendapatkan cerita nyata ini di sebuah milis. Saya tersentuh melihat ketulusan anak-anak jalanan yang ada di cerita ini. Saya sungguh terharu, ternyata masih ada anak-anak seperti mereka di negeri yang kita kenal dengan kebobrokannya ini. Sungguh sebuah teladan yang baik untuk kita semua.

Catatan: Saya melakukan editing pada naskah asli dari milis, yang tidak mengubah isinya. Yang saya ubah hanyalah masalah tipografi dan membuat tulisan ini lebih enak dibaca.

Siang ini, 6 Februari 2008, tanpa sengaja saya bertemu dua manusia super. Mereka makhluk-makhluk kecil, kurus, kumal berbasuh keringat. Tepatnya di atas jembatan penyeberangan Setia Budi, dua sosok kecil berumur kira kira delapan  tahun  menjajakan  tissue dengan wadah kantong plastik hitam.

Saat menyeberang untuk makan siang, mereka menawari saya tissue di ujung jembatan. Dengan keangkuhan khas penduduk Jakarta, saya hanya mengangkat tangan lebar-lebar tanpa tersenyum, yang dibalas dengan sopannya oleh mereka dengan ucapan “Terima kasih, Oom!”. Saya masih tak menyadari kemuliaan mereka dan cuma mulai membuka sedikit senyum seraya mengangguk ke arah mereka.

Kaki-kaki kecil mereka menjelajah lajur lain diatas jembatan, menyapa seorang laki-laki lain dengan tetap berpolah seorang anak kecil yang
penuh keceriaan. Laki-laki itu pun menolak dengan gaya yang sama dengan saya, lagi-lagi sayup-sayup saya mendengar ucapan terima kasih dari mulut kecil mereka. Kantong hitam tampat stok tissue dagangan mereka tetap teronggok di sudut jembatan, tertabrak derai angin Jakarta. Saya melewatinya dengan lirikan ke dalam kantong itu. Dua pertiga terisi  tissue putih berbalut plastik transparan.

Setengah jam kemudian saya melewati tempat yang sama dan mendapati mereka tengah mendapatkan pembeli, seorang wanita. Senyum di wajah mereka terlihat berkembang seolah memecah mendung yang sedang manggayut langit Jakarta.

“Terima kasih ya, mbak. Semuanya dua ribu lima ratus rupiah!” tukas mereka. Tak lama, si wanita merogoh tasnya dan mengeluarkan uang sejumlah sepuluh ribu rupiah.

“Maaf, nggak ada kembaliannya… Ada uang pas nggak, mbak?” mereka menyodorkan kembali uang tersebut. Si wanita menggeleng. Lalu dengan
sigapnya anak yang bertubuh lebih kecil menghampiri saya yang tengah mengamati mereka bertiga pada jarak empat meter.

“Oom, boleh tukar uang nggak, receh sepuluh ribuan?” suaranya mengingatkan kepada anak lelaki saya yang seusia mereka. Sedikit terhenyak saya merogoh saku celana dan hanya menemukan uang sisa kembalian food court sebesar empat ribu rupiah. “Nggak punya!” tukas saya.

Lalu tak lama si wanita berkata, “Ambil saja kembaliannya, dik!”, sambil berbalik badan dan meneruskan langkahnya ke arah ujung sebelah timur.

Anak ini terkesiap, ia  menyambar uang empat ribuan saya dan menukarnya dengan uang sepuluh ribuan tersebut dan meletakkannya ke genggaman saya yang masih tetap berhenti, lalu ia  mengejar wanita tersebut untuk memberikan uang empat ribu rupiah tadi.

Si wanita kaget, setengah berteriak ia bilang “Sudah, buat kamu saja, nggak apa-apa… Ambil saja!”

Namun mereka berkeras mengembalikan uang tersebut. “Maaf mbak, cuma ada empat ribu, nanti kalau lewat sini lagi saya kembalikan!”

Akhirnya uang itu diterima si wanita karena si kecil pergi meninggalkannya. Tinggallah episode saya dan mereka, uang sepuluh ribu di genggaman saya tentu bukan sepenuhnya milik saya. Mereka menghampiri saya dan berujar, “Om bisa tunggu ya? Saya ke bawah dulu untuk tukar uang ke tukang ojek!”

“Eeh.. Nggak usah.. Nggak usah.. Biar aja.. Nih!” saya kasih uang itu ke si kecil. Ia menerimanya, tapi terus berlari ke bawah jembatan menuruni tangga yang cukup curam menuju ke kumpulan tukang ojek.

Saya hendak meneruskan langkah tapi dihentikan oleh anak yang satunya, “Nanti dulu Om, biar ditukar dulu… sebentar…”

“Nggak apa apa, itu buat kalian,” lanjut saya.

“Jangan… jangan Om, itu uang om sama mbak yang tadi juga,” anak itu bersikeras.

“Sudah… saya ikhlas, mbak tadi juga pasti ikhlas!” saya berusaha membargain, namun ia menghalangi saya sejenak dan berlari ke ujung
jembatan berteriak memanggil temannya untuk segera cepat. Secepat kilat juga ia meraih kantong plastik hitamnya dan berlari kearah saya.

“Ini deh om, kalau kelamaan, maaf…” ia memberi saya delapan pack tissue.

“Buat apa?” saya terbengong

“Habis teman saya lama sih Om, maaf, tukar pakai tissue aja dulu…”

Walau dikembalikan, ia tetap menolak. Saya tatap wajahnya , perasaan bersalah muncul pada rona mukanya. Saya kalah set, ia tetap kukuh menutup rapat tas plastik hitam tissuenya.

Beberapa saat saya mematung di sana, sampai si kecil telah kembali dengan genggaman uang receh sepuluh ribu, dan mengambil tissue dari tangan saya serta memberikan uang empat ribu rupiah.

“Terima kasih Om!” mereka kembali ke ujung jembatan sambil sayup-sayup terdengar percakapan, “Duit mbak tadi gimana…?” Suara kecil yang lain menyahut, “Lu hafal kan orangnya, kali aja ketemu lagi ntar kita kasihin…” Percakapan itu sayup-sayup menghilang, saya terhenyak dan kembali ke kantor dengan seribu perasaan.

Tuhan… Hari ini saya belajar dari dua manusia super. Kekuatan kepribadian mereka menaklukkan Jakarta membuat saya terenyuh. Mereka berbalut baju lusuh, tapi hati dan kemuliaannya sehalus sutra. Mereka tahu hak mereka dan hak orang lain. Mereka berusaha tak meminta-minta  dengan berdagang tissue. Dua anak kecil yang bahkan belum baligh, memiliki kemuliaan di umur mereka yang begitu belia.

YOU ARE ONLY AS HONORABLE AS WHAT YOU DO

Engkau hanya semulia yang kau kerjakan.

MT

Saya membandingkan  keserakahan kita, yang tak pernah ingin sedikit pun berkurang rizki kita meski dalam rizki itu sebetulnya ada milik orang
lain. “Usia memang tidak menjamin kita menjadi bijaksana, kitalah yang memilih untuk menjadi bijaksana atau tidak.”

Semoga pengalaman nyata ini mampu menggugah saya dan teman lainnya untuk lebih SUPER.

Aryadi N  SM 0304
QHSE Manager  I  BHM Corp I 0817 149369 I Oil and Gas

The light in the eyes has dimmed,
The smile at the corner of the mouth has been extinguished.
But the day isn’t dark,
People go by in the streets, laughing merrily.

Let’s make Jakarta better

Tag:, , , , , , , , ,

About Charles

Seorang alumni Fakultas Ilmu Komputer UI. Suka mengoleksi buku-buku dan membagikan inspirasi-inspirasi yang didapatkannya. Mencintai matematika dan logika sederhana. Hobinya adalah mencari inspirasi dan membagikannya. Seorang biasa yang percaya bahwa dia memiliki Tuhan yang luar biasa.

19 responses to “2 Manusia Super di Jembatan Setiabudi”

  1. oky says :

    kereeen…. asli ceritanya?
    di kota yang terkutuk gt masih ada yah ternyata yang punya cahaya nurani?!!

    =”)

  2. Charles says :

    @oky:

    Semoga semakin banyak orang yang bisa meneladani “2 manusia super” ini… 😀

    Untuk keaslian ceritanya, bisa ditanyakan langsung pada pengirim cerita ini. Saya sendiri percaya kisah ini adalah kisah nyata.

  3. _on says :

    sugoi^^
    senyuman dan kata terima kasih,, kadang suka dianggap ga penting sama sebagian orang di dunia ini..

    ~wah, charles,, blog lo makin lama makin keren^^
    ~bisa jadi tempat belajar macem” hal,, mulai dari hal-hal kecil kek gini^^
    ~Gbu 🙂

  4. Charles says :

    @_on:

    buat gw, senyuman dan kata terima kasih itu penting banget… 2 hal itu yang bisa memberi gw semangat untuk melakukan berbagai hal… 😀

    ~thx ya von… syukur akhirnya ada yang bisa belajar juga dari blog gw… Sesuai dengan misinya: “membuka wawasan, bersama belajar dari kehidupan”. Semoga ke depannya bisa tambah baik lagi. Amin. 😀

  5. irvan says :

    ampir nangis gw bacanya..

  6. Saleh Iskandar says :

    wah bagus banget ceritanya…
    gw jadi malu sama diri gw sendiri….

    hebat charless….!! blog kamu semoga tambah bagus dan maju…..

  7. Charles says :

    @irvan & Saleh Iskandar:
    Semoga cerita ini bisa jadi inspirasi kehidupan kita ya… 🙂

    @Saleh Iskandar:
    Thx ya… Amin. Btw, Saleh ada blog juga? Di mana?

  8. Febra says :

    milisnya milis sekundang setungguan ya bro? 😀

  9. Charles says :

    @Febra:

    Bukan bro… Saya malah dapatnya dari milis humor Guyon Yook… hehe. Tapi cerita ini uda banyak beredar sih di mana2…

  10. Dave says :

    Bukan soal asli ato tidaknya ni cerita,bagaimana kita belajar dari sebuah sisi yg tidak pernah kita pikirkan sebelumnya…langkah awal untuk sebuah nurani yg mulai buta(aku juga lho..)itu aja!

  11. Charles says :

    @Dave:

    Setuju! Mari kita celikkan kembali nurani kita ini. Belajarlah dari dua manusia super itu… 🙂

  12. Ricky says :

    Harus banyak belajar “deep though” nih…

    Jadi inget 3C (Competence, Conscience, Compation)…
    Intinya jadi orang jangan cuma pinter (competence) aja, tapi juga punya hati nurani (conscience) dan peduli (compation) terhadap sesama…

  13. Charles says :

    @Ricky:

    Yup, betul sekali… harus punya 3C… Kalo gw baru punya 2C nih (Charles Christian, hahaha).

    ~btw ric, C yang ketiga itu compassion, bukan compation… 😉

  14. Ricky says :

    @Charles:

    Eh, compassion ya? Gw cuma tau bacanya, jadi gw cari tulisan yg mirip2… hehehe… ketemu deh compation… 😀

  15. Kosmas says :

    ??? bukannya itu sudah wajar ya? hohoho. Kalo km di pihak penjual, pasti akan berusaha demikian kok. *peace, no offense *

    *kabur*

  16. flanflygirl says :

    ijin ngeshare ya ^^ bagus ceritanya

Trackbacks / Pingbacks

  1. Humor: Nice Reply « Charles’ Notes… - 17 Maret 2008
  2. bebas - freedom - 29 September 2009

Tinggalkan komentar