Sebuah Perenungan: “Hidup Ini Tidak Adil!”

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Mungkin kamu akan menjawab, “Tidak adil!” Seharusnya kalau mau adil, Ani, Budi, dan Chandra sama-sama mendapatkan 10 buah apel. Benar begitu?

Pertanyaannya, jika kamu adalah Chandra yang mendapatkan 15 buah apel, apakah kamu juga akan mengatakan hal yang sama?

Banyak orang mengeluh, “Hidup ini tidak adil!” Ketika ditanya, kenapa tidak adil?, jawaban mereka biasanya seperti ini:

Kenapa aku yang lebih rajin bekerja, tapi dia yang dapat gaji lebih banyak?

Kenapa dia bisa jalan-jalan keluar negeri, sementara aku cuma bisa jalan-jalan keliling kota?

Kenapa harus aku yang menderita penyakit ini?

Kenapa teman-temanku sudah pada menikah, sedangkan aku: pacar saja belum punya?

Kenapa rumahnya lebih bagus dari rumahku? Kenapa dia lebih cakep? Kenapa dia punya ini-itu, sedangkan aku tidak?

Kenapa Tuhan tidak juga menjawab doa-doaku?

Banyak orang merasa hidup ini tidak adil karena mereka membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang “lebih” daripada mereka: lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, lebih pintar, lebih sehat, lebih harmonis, lebih kuat, lebih terkenal, dan lain sebagainya. Namun, kalau kita pikirkan lagi, bukankah itu tidak adil juga jika kita hanya membandingkan diri kita dengan yang “lebih”? Bagaimana dengan yang “kurang”? Pernahkah kita bertanya-tanya seperti ini:

Kenapa aku punya pekerjaan, sedangkan banyak orang yang menganggur?

Kenapa aku bisa berjalan, di saat ada orang yang hanya bisa terbaring di ranjang?

Kenapa aku masih bisa memilih makan apa hari ini, di saat ada orang yang begitu miskin sampai-sampai tidak bisa makan tiap hari?

Kenapa aku bisa mengenal Tuhan Sang Juruselamat, di saat banyak orang masih belum pernah mendengar tentang Dia?

Bukankah hidup ini memang tidak adil?

Kalau kita mau adil, mari buka mata dan hati kita untuk melihat tidak hanya orang-orang yang mempunyai “lebih” dari kita, tapi juga lihatlah mereka yang tidak mempunyai apa yang kita miliki. Kalau kita tidak suka ketidakadilan, bukankah hal yang bijak jika setidaknya kita sendiri berlaku adil?

Hidup ini memang tidak adil, tapi jika kita mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda, kenyataan ini tidak seharusnya membuat kita iri hati. Sebaliknya, kita akan bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, dan tergerak untuk berbagi kepada orang lain, untuk setidaknya membuat hidup ini menjadi lebih adil bagi mereka. Marilah mulai dari diri kita sendiri.

Selain itu, ada satu aspek lain yang perlu kita renungkan.

Suatu hari, ketika Yesus melihat orang yang buta sejak lahirnya, murid-murid-Nya bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?”

Ketika ada hal yang kurang baik terjadi, kita cenderung mencari kambing hitam: salah siapakah ini? Apakah salah orang buta itu? Ataukah salah orang tuanya? Namun, jawaban Yesus membukakan sebuah aspek lain yang kadang mungkin kita lupakan:

Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Kadang apa yang kita lihat sebagai penderitaan dan ketidakadilan, sesungguhnya itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang indah, agar pekerjaan-pekerjaan Allah dapat dinyatakan melalui hidup kita.

Jadi, bagaimanapun keadaanmu saat ini, bersyukurlah atas segala hal yang Tuhan telah berikan kepadamu. Dan jadilah berkat bagi mereka yang tidak seberuntung dirimu, agar dunia ini bisa menjadi sedikit lebih adil.

Jawaban Mengejutkan Petugas Disney World Atas Pertanyaan Jam Berapa Taman Hiburan Ini Tutup

 

Bayangkan seorang dokter mengatakan kepada pasiennya, “Ada kemungkinan 10% kamu akan mati.”

Sekarang bayangkan seorang dokter lainnya mengatakan kepada pasiennya, “Ada 90% kemungkinan kamu akan hidup.”

Meskipun secara logika, dua pernyataan di atas adalah hal yang sama, namun fokus mereka berbeda. Dokter yang pertama fokus kepada kematian, dan dokter kedua fokus kepada kehidupan. Dan perbedaan fokus inilah yang amat mempengaruhi perasaan sang pasien.

Berita baiknya, kita dapat memilih apa yang menjadi fokus kita. Apakah kita akan berfokus pada sisi buruk seseorang dan membuat kita menjadi marah, atau kita akan berfokus pada sisi baik seseorang dan membuat kita menjadi terinspirasi? Itu adalah pilihan kita.

Randy Pausch dalam bukunya “The Last Lecture” pernah menceritakan, “Cobalah tanyakan kepada petugas Disney World jam berapa taman hiburan ini tutup, dan mereka akan menjawab bahwa taman hiburan ini BUKA sampai jam 8 malam.” Randy sendiri juga menderita penyakit kritis dan bertanya kepada dokternya, “Kapan kira-kira saya mati?” dan sang dokter menjawab, “Kamu kemungkinan masih akan cukup sehat untuk 3-6 bulan ke depan.” Sang dokter telah mengubah fokus pertanyaan Randy dari kematian menjadi kehidupan, dan jawaban dokter itu mencerahkan hati Randy.

Di mana kamu letakkan fokusmu, itulah yang akan bertumbuh. Fokus pada keburukan, itulah yang bertumbuh. Fokus pada kebaikan, itulah juga yang bertumbuh. Jadi, pilihlah dengan bijak apa yang menjadi fokusmu.

Untuk Apa Hidup Kalau Nanti Mati Juga?

Siang ini, ketika sedang pergi ke Pasar Baru, saya melewati sebuah toko handphone dan melihat salah seorang pegawai toko itu sedang sibuk melakban sebuah paket yang sepertinya akan segera dikirimkan. Paket itu telah dibungkus dengan bubble wrap sebelumnya, dan selanjutnya dilakban berulang kali.

Tiba-tiba, sebuah pertanyaan iseng terlontar di pikiran saya, “Bukankah nanti sang penerima paket itu akan membuka paket itu juga. Pada akhirnya, bubble wrap dan lakban itu akan dirusak dan dibuang juga. Lantas apa gunanya pegawai itu susah-payah membungkus paket itu dengan bubble wrap dan berlapis-lapis lakban?”

Saya tahu, ini adalah sebuah pertanyaan yang konyol yang sudah jelas jawabannya: Bubble wrap dan lakban itu dipakai dengan tujuan untuk menjaga isi paket tersebut agar sampai dengan baik di tangan si penerima. Pada dasarnya, yang berharga adalah isi paket tersebut. Bubble wrap dan lakban itu sendiri tidaklah berharga. Namun, “tugas yang ditunaikan” oleh bubble wrap dan lakban itu untuk menjaga isi paket itu membuat peran mereka menjadi sangat penting.

Saya sering mendapatkan kiriman paket buku. Paket itu dibungkus dengan begitu rapi dengan amplop dan lakban berlapis-lapis. Ketika saya menerima paket itu, yang saya lakukan adalah merobek lakban dan amplop yang membungkusnya, dan juga plastik yang melapisi buku baru tersebut. Kemudian, saya hanya akan memperhatikan buku baru saya. Amplop, lakban, dan plastik yang telah berjasa besar untuk menjaga buku saya tetap dalam keadaan baik akhirnya akan berakhir di tempat sampah tanpa sempat menerima ucapan terima kasih dari saya. Namun, meskipun mereka pada akhirnya berakhir di tempat sampah, mereka bukanlah sampah yang tidak berguna. Mereka telah berguna pada waktunya, menjaga buku saya selama perjalanan, dan mereka telah menjalankan tujuan sang pencipta ketika menciptakan mereka. Yang terpenting bukanlah keberadaan diri mereka, tapi bagaimana mereka dengan setia memenuhi tujuan dari mereka diciptakan.

Justru, jika amplop, lakban, dan plastik itu menolak untuk dihancurkan, saya takkan bisa membaca buku saya. Ketika paket buku itu telah saya terima dengan baik, tugas amplop, lakban, dan plastik itu telah selesai. Dan untuk memenuhi tujuan mereka diciptakan, pada akhirnya, mereka harus merelakan diri mereka dihancurkan. Diri mereka yang hancur bukanlah sebuah kesedihan, tapi menjadi sebuah rasa syukur karena mereka telah menunaikan tugas dan tujuan mereka dengan baik.

Perenungan singkat ini mengingatkan saya akan keberadaan diri kita sebagai manusia. Setiap manusia pada akhirnya juga akan mati dan kembali menjadi debu, sama seperti bubble wrap dan lakban yang pada akhirnya akan berakhir di tempat sampah. Nilai dari seorang manusia ditentukan bukanlah dari keberadaan diri mereka, tapi dari kesetiaan mereka melakukan tujuan yang telah ditetapkan Sang Pencipta ketika menciptakan mereka.

Bubble wrap dan lakban ada bukan untuk diri mereka sendiri, tapi untuk menjaga benda lain yang lebih berharga. Bukan karena mereka kurang berharga, tapi karena itulah tujuan mereka diciptakan. Begitu pula dengan kita. Kita diciptakan Sang Pencipta bukan untuk diri kita sendiri, tapi untuk memenuhi tujuan yang telah diberikan Sang Pencipta bagi setiap diri kita, untuk membawa kemuliaan bagi Dia. Dialah pusat daripada segalanya, dan kita ada dari Dia dan untuk Dia.

Saya percaya, setiap dari kita diciptakan dengan tujuan yang unik, sesuai dengan kerinduan, kemampuan, dan talenta yang unik yang telah Tuhan berikan bagi setiap kita. Marilah kita menjadi berkat bagi dunia ini dengan mengerjakan dengan setia tujuan yang telah Tuhan berikan di dalam hidup kita. Itulah sebuah hidup yang berharga.

Jadi, untuk apa hidup kalau nanti mati juga? Saya percaya jawabannya adalah ini: untuk memenuhi tujuan Sang Pencipta ketika menciptakan diri kita.

Journey Report 2014

Journey Report 2014-Overview

Last year, on the new year day, one of my resolution was to log all of my journeys along the year. The complete logs contain thousands of rows, and it enables me to compile the report to see the stats of my overall journeys.

I was surprised when I know that in 2014, I took a total of more than a thousand journeys, spent almost 40 days on the way, and drove almost ten thousands km.

That’s a lot of journeys, and most of them happened in one of the most crowded city in the world: Jakarta. Considering Jakarta traffic, one of the newspaper columnist in Indonesia said that in Jakarta, every second is a miracle. So, to survive millions of seconds I spent on the road this year was actually millions of miracles! Baca Selengkapnya..

Terbunuh Karena Kata-Kata

homicide-hunter

James Leonard Jackson, seorang remaja berumur 14 tahun di Amerika, tewas tertembak pada tanggal 9 November 1995. Kasusnya kemudian didokumentasikan ke dalam salah satu episode “Homicide Hunter”, detektif Lt. Joe Kenda. Di dalam program tersebut, terungkaplah pelaku pembunuhan tersebut beserta dengan motifnya yang sangat mengejutkan dan sarat dengan pelajaran berharga.

Berikut adalah kisahnya…

J.L. Jackson adalah seorang remaja yang baik, yang salah bergaul dengan seorang remaja bermasalah bernama Moses Cooley. Mereka adalah teman seangkatan di SMA.

Moses kerap menimbulkan masalah di sekolah. Suatu hari, Moses bersama dua temannya (salah satunya adalah J.L. Jackson), masuk ke kafetaria sekolah. Di sana mereka bertemu dengan seorang siswa lainnya yang kerap di-bully karena tubuhnya yang terlampau gemuk untuk ukuran anak seusianya. Remaja itu bernama Matt Tuiletufuga.

Mereka kemudian mem-bully Matt seperti biasanya dengan kata-kata yang menyakitkan hati. Karena tidak tahan, Matt kemudian melawan dan membuat Moses menjadi emosi. Tanpa berpikir panjang, Moses kemudian mengancam akan menembak Matt sepulang sekolah, kemudian pergi meninggalkannya.

Sebenarnya, Moses tidak serius ketika mengancam Matt. Namun, Matt yang ketakutan kemudian menelepon kakaknya, Gene Tuiletufuga, tentang ancaman Moses tersebut. Karena berasal dari kultur yang berbeda, Gene menganggap serius ancaman Moses dan segera mengambil pistolnya untuk melindungi adiknya.

Sepulang sekolah, Moses, J.L Jackson, dan seorang teman yang lain pulang bersama naik mobil. Tanpa mereka ketahui, Gene sudah menanti dan kemudian mengikuti mobil mereka, dan mulai menghujani mobil mereka dengan peluru. Berdasarkan pengakuan Gene, sebenarnya dia hanya berniat menggertak mereka dengan menembaki mobil mereka, namun ternyata ada peluru yang mengenai J.L. Jackson, dan menewaskannya.

Ada beberapa pelajaran berharga yang saya dapatkan dari kisah ini:

Pertama, perhatikanlah dengan siapa kita bergaul, karena mereka akan mempengaruhi kita. Jika mereka adalah orang yang positif, mereka akan mempengaruhi kita secara positif. Demikian pula sebaliknya, jika mereka adalah orang yang negatif, mereka akan mempengaruhi kita secara negatif. Tidak peduli seberapa baiknya J.L. Jackson, kenyataan bahwa dia bergaul dengan orang yang salah berakibat fatal baginya.

Kedua, bullying selalu menyebabkan sakit hati, yang dapat diikuti dengan pembalasan dendam yang selalu merusak. Jika kita menyakiti orang lain, kita harus siap disakiti oleh orang-orang yang sakit hati. Jika kita tidak ingin disakiti, jangan menyakiti orang lain. Jika kita telah disakiti dan kita membalas menyakiti, itu juga akan menjadi lingkaran dendam yang tak pernah berakhir, yang hanya membawa rasa takut dan perasaan bersalah. Jadi, jika kita ingin bahagia, stop bullying, stop menyakiti orang lain.

Untuk pelajaran ketiga yang saya dapatkan dari kisah ini, dan sebagai penutup, izinkan saya mengutip kata-kata terakhir dari detektif Joe Kenda di akhir episode ini, yang juga menjadi pengingat bagi saya:

“Anda punya kelompok teman yang besar. Bila seseorang melukai Anda atau berusaha melukai Anda, teman-teman Anda akan bangkit dan membalas dendam. Anda tak pernah tahu lawan bicara Anda. Bila Anda orang jahat, selalu ada seseorang yang lebih jahat. Bila Anda yakin Anda orang yang patut dihormati, selalu ada orang yang lebih hebat dari Anda.

Mereka remaja, tak memikirkan hal itu, semua hanya ucapan. Tapi tiba-tiba ucapan berhenti dan tembakan dimulai. Kini bukan lagi ucapan. Itulah kenyataannya.

Hal remaja, membuat ancaman kosong pada orang yang salah, yang percaya itu serius dan bertindak sesuai dengan itu. Dia dengar tentang mereka dan dia menembak, berakibat kematian.

Hati-hati dengan ucapan Anda.

Hati-hati dengan ancaman Anda.

Sebab orang yang salah mungkin mempercayai Anda.”

Getting To Know The Kindness and Humility of Mart DeHaan

Two years ago, I got a privilege to meet Mart DeHaan, who was the president of RBC Ministries at that time, the grandson of the founder of RBC Ministries. He is the most humble leader that I have ever met, and even arguably one of the most humble among all the leaders that I have ever known!

As a leader that has lead RBC Ministries for 26 years that time, I haven’t heard any single negative thingabout him. Every stories that I heard about him from the others are always about how others have experienced his kindness and how they were so impressed with his kindness and humility. Simply unbelievable!

And, two years ago, I got a privilege to get the first-hand experience of his kindness and humility, when he came to Jakarta from USA. When I first met him at the airport, he didn’t only shake my hand, he also looked at my eyes. He meant his handshake and asked for my name. For about 10 seconds, I got a full attention from the highest-position leader of an international ministry. And he did that not only to me, but to others also. He meant every handshake that he did and got interested to know more about the people whom he is handshaking.

So many good impressions that I got from him, but maybe the greatest that I will never forget is this following moment:

Baca Selengkapnya..

Keputusan Ibu Dosen yang Tak Terduga

Delapan tahun yang lalu, saat saya masih kuliah di Fasilkom, saya ingat saat itu sedang masa pendaftaran kuliah semester pendek. Karena ada yang bilang, “Kalau mau lulus kuliah 3,5 tahun, kamu harus ambil semester pendek”, maka kuliah semester pendek ini menjadi penting untuk saya ambil.

Saya pun memasukkan form pendaftaran untuk ikut kuliah semester pendek. Karena kuota kelas yang terbatas, hanya 50 mahasiswa saja yang bisa diterima, dan penerimaannya berdasarkan siapa yang daftar duluan.

Saya masih ingat ketika hari pengumuman mahasiswa yang diterima untuk ikut semester pendek. Nama saya tidak ada di sana. Tapi di sana ada nama teman saya, yang saya tahu dia memasukkan form setelah saya.

Saya masih ingat kekecewaan yang saya rasakan saat itu. Seolah harapan untuk lulus kuliah 3,5 tahun sirna karena itu (belakangan saya tahu ini lebay sih). “Pasti ada kesalahan! Ini tidak adil! Kenapa saya yang duluan mendaftar tidak diterima, sedangkan teman saya yang daftar belakangan yang diterima?”

Baca Selengkapnya..

What Does Matter More Than A Good Result?

Few years back, I got an idea to develop a computer application. I was excited about the project, and so I started right away. I enjoyed the coding, the design processes, and also learned some new things along the way. Until it was finished and I shared my idea and my works with others.

What’s their response? They thought that my idea was not good and couldn’t be used. Though there was a slight disappointment, it wasn’t really a matter for me. After all, it was not a waste, because I enjoyed the process, and I learned a lot from the process.

Later on, the lessons that I learned from that failed project enabled me to develop other applications that really work.

If you enjoy the process, you won’t care much about the result. The good result is just like a bonus for you. What really matters is what you have learned along the way.

Bersyukur Karena Dimaki Pengendara Motor

Dua hari terakhir ini, ketika sedang berkendara, saya dimaki oleh dua pengendara motor yang berbeda.

Yang pertama terjadi kemarin, ketika saya melewati sebuah jalan dua arah yang padat dari arah sebaliknya, membuat saya lebih berhati-hati dan mengendarai mobil saya dengan perlahan. Tampaknya sang pengendara motor di belakang saya tidak sabar dan membunyikan klakson berulang kali, dan ketika ada kesempatan menyalip mobil saya, kata makian yang saya pun tidak dengar dengan jelas itu terlontar dari mulutnya sebelum dia memacu motornya dengan kecepatan tinggi dan menghilang dari pandangan saya.

Kejadian yang kedua terjadi malam ini, ketika saya sedang mengendarai mobil di sebuah jalan satu lajur, dan ada gerobak yang membuat saya menurunkan kecepatan saya secara cukup tiba-tiba. Tampaknya motor di belakang saya kaget karena perubahan kecepatan itu dan kembali membunyikan klakson. Ketika saya sudah sampai di jalan yang lebih lebar, motor tersebut melewati mobil saya dan saya pun dapat “hadiah” kata-kata keras yang saya pun tidak dengar dengan jelas.

Perasaan saya menjadi tidak enak ketika untuk kedua kalinya dalam dua hari saya dimaki oleh dua pengendara motor yang berbeda. Namun, tiba-tiba sebuah pencerahan terlintas di pikiran saya, “Wah, masih bagus si pengendara motor masih cukup sehat untuk memaki saya. Bayangkan kalau si pengendara motor itu menabrak mobil saya dan terluka. Dia terluka, mobil saya penyok, dan saya kena masalah yang lebih besar.”

Tiba-tiba, makian itu menjadi suatu hal yang dapat disyukuri. Bersyukur karena si pengendara motor masih cukup sehat untuk memaki saya. Hanya satu hal yang saya khawatirkan, apabila kedua pengendara motor itu menyimpan rasa kesalnya dan itu membuat mereka tidak berkonsentrasi dalam berkendara. Ah, semoga kiranya mereka semua dapat tiba dengan selamat sampai tujuan.

Dunia ini memang lucu. Kadang orang yang memaki yang perlu lebih dikasihani daripada orang yang dimaki.

Ketika Lukisanmu Dirusak

Di atas gunung, seorang pelukis melukis sebuah lukisan pemandangan yang sangat indah lukisan terindah yang pernah dia hasilkan sepanjang hidupnya.

Dia begitu bangga akan lukisannya, dan mulai mengamatinya. Dia ingin tahu bagaimana lukisannya jika dilihat dari jauh. Oleh karena itu, dia mulai mundur sambil terus mengangumi lukisannya.

Dia terus mundur sampai tiba-tiba ada seseorang yang tiba-tiba merusak lukisannya.

Terkejut dan marah, dia langsung lari ke arah orang itu dan lukisannya yang telah dirusak…

Dia begitu marah dan memukul orang yang merusak lukisan terbaiknya tersebut begitu rupa sampai orang itu tidak bernyawa lagi.

Ketika kemarahannya sudah mulai reda, dia melihat ke belakang dan dia sangat terkejut. Dia melihat ternyata dirinya ada di pinggir jurang! Selangkah mundur lagi ketika dia sedang mengamati lukisannya tadi, dan dia akan jatuh ke jurang yang tak terlihat dasarnya itu.

Rusaknya lukisan terbaiknya telah mencegahnya kehilangan nyawanya yang jauh lebih berharga.

Orang yang dia begitu marah karena telah merusak lukisannya, yang dia telah habisi, ternyata adalah penyelamat nyawanya.

Ada sebuah pelajaran berharga di dalam kisah ini. Kita melangkah tanpa tahu ke mana kita melangkah, tapi Tuhan tahu… Dan percayalah, ke mana pun Tuhan mengarahkanmu untuk pergi, itulah jalan yang terbaik yang dapat kamu tempuh.

Carilah Tuhan ketika Dia masih dapat dicari, karena akan tiba saatnya jika kita terus mengeraskan hati kita, mungkin berikutnya Tuhan tak dapat lagi kita temui.

Seperti yang terjadi pada Firaun, diawali dari dia mengeraskan hatinya, diakhiri dengan Tuhan yang mengeraskan hatinya.

Atau seperti orang-orang yang Asaf katakan di Mazmur 73, ditempatkan Tuhan di tempat yang licin hingga jatuh tergelincir dan hancur (Mazmur 73:18).

Bersyukurlah jika Tuhan masih merusak lukisan kita, karena itu berarti Tuhan tidak membiarkan kita melenggang dengan rencana kita yang penuh kerapuhan. Sebaliknya, Dia mau membawa kita kepada rencana-Nya yang penuh harapan.

Tuhan mengasihimu. Percayalah kepada-Nya.