Kebaikan Sederhana, dengan Ketulusan yang Luar Biasa

Suatu sore, beberapa tahun yang lalu, saya menerima sebuah kebaikan sederhana yang begitu membekas di hati saya, sehingga saya mengingatnya sampai sekarang.

Sore itu, saya sedang belajar di kos saya, mempersiapkan ujian akhir yang akan saya ikuti esok hari. Kebanyakan teman-teman saya tidak mengambil kuliah ini, sehingga saya menjadi satu dari sedikit orang yang sedang belajar sore itu.

Saya ada di kos. Sendirian. Di luar, hujan deras sedang turun. Cuaca seperti ini benar-benar menggoda saya untuk tidur. Ketika itulah saya mendengar pintu kamar saya diketuk.

Tok. Tok…

Siapa yang datang di tengah hujan lebat begini? Penasaran, saya buka pintu kamar saya. Berdiri di depan saya seorang teman kampus saya, datang dengan sebuah payung yang tak cukup besar untuk menjaganya tetap kering.

“Ada apa, Yo?” Teman saya itu bernama Yohanes.

“Ini Les, buat nemenin lu belajar…,” dia memberikan sekantong roti Breadtalk kepada saya.

“Oh, thank you, Yo…”

“OK Les… Gw harus pulang sekarang. Good luck ya buat ujian besok.”

Begitu cepat dia pergi dan menghilang di tengah hujan. Kenapa kejadian singkat ini begitu berkesan untuk saya?

Pertama, jarak kos saya dan kos dia terpisah lumayan jauh, sekitar setengah jam berjalan kaki. Dan saya tahu, roti itu pasti dibeli di Breadtalk Margo City, yang ada di dekat kosnya. Apa artinya? Artinya, dia bukanlah sekedar mampir ke tempat saya, tapi memang merencanakannya. Bisa saja setelah pulang dari Margo City dia langsung pulang ke kosnya, daripada berjalan kaki satu jam bolak-balik di tengah hujan deras hanya untuk mengantarkan roti ini pada saya. Sungguh dibutuhkan sebuah pengorbanan untuk melakukan kebaikan sederhana ini.

Lalu, apakah hanya pengorbanannya yang membuat saya terkesan? Tidak hanya itu, ada hal lain yang lebih membuat saya terkesan, yaitu motivasi di balik pengorbanan yang dia lakukan.

Mungkin banyak orang yang rela berkorban untuk kepentingan dirinya sendiri (atau kepentingan dirinya sendiri dan orang lain). Ini adalah sebuah bisnis. Saya melakukan kebaikan dengan harapan kamu juga melakukan kebaikan kepadaku. Ini yang saya sering temui dari teman-teman saya yang sudah lama tidak ada kabarnya, tiba-tiba mengajak bertemu dan mulai menjalin hubungan. Tiba-tiba, dia rela berkorban untuk saya, rela datang ke rumah saya malam-malam, rela menghadiahi saya ini-itu. Namun, ternyata di akhirnya, dia lakukan itu semata-mata karena ingin memprospek saya (entah dia mau jualan sesuatu pada saya, atau menawarkan suatu hal). Ketika saya menolak, dia kembali jauh. Tidak, saya tidak menyalahkan mereka. Namun, yang mereka lakukan bukanlah sebuah bentuk kasih yang tulus, namun sebuah bentuk bisnis. Dalam bisnis, kita harus untung bersama bukan?

Berbeda dengan teman saya yang satu ini. Yang baru saja mengantarkan sekantong roti untuk saya. Bisa dikatakan, satu-satunya tujuan dia datang saat itu adalah untuk menyemangati saya. Dia tidak meminta bantuan saya apa-apa. Dia tidak sedang membujuk saya. Dia tidak mengharapkan balasan apa-apa. Bahkan, dia pun tidak mengikuti mata kuliah itu, tapi dia tahu dan ingat kalau saya ikut kuliah itu dan akan ujian besok.

Yang dia lakukan adalah sebuah kebaikan sederhana, dengan ketulusan yang luar biasa. Itulah kasih.

Sebuah Kisah Lain

 

Saat menuliskan kisah ini, saya jadi teringat akan sebuah kisah nyata lain yang juga menyentuh hati saya…

Carl adalah seorang laki-laki tua berusia 87 tahun yang terkenal kebaikannya. Suatu hari, sebuah gereja membutuhkan seorang sukarelawan untuk menjadi tukan kebun di gereja itu—dan Carl bersedia menjadi sukarelawan itu.

Dengan setia, dia menyiram tanaman yang ada di kebun itu setiap hari.

Suatu hari, tiga orang remaja berjalan masuk ke dalam kebun Carl. Carl melihat mereka dan menyapa mereka, “Hai anak-anak… Kalian mau minum? Ini hari yang panas…”

Tetapi anak-anak itu mendorong Carl sampai ke tanah, mengambil dompet dan jam tangannya, lalu berlari keluar sambil tertawa.

Sang pendeta, yang melihat kejadian itu dari balik jendela, segera keluar menemui Carl. “Carl, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan begitu cemas.

Carl berdiri, mencoba membersihkan debu yang menempel di bajunya, dan berkata, “Ya… Saya baik-baik saja. Semoga anak-anak itu bisa menjadi lebih dewasa…” Dia lalu mengambil alat penyiram tanamannya, dan mulai menyiram lagi.

Melihat Carl mulai menyiram, pendeta itu terkejut dan bertanya, “Carl… Apa yang kau lakukan?”

Carl menjawab, “Ini hari yang panas. Tanaman-tanaman ini butuh air.”

Sang pendeta tidak dapat berkata apa-apa. Dia melihat tukang kebunnya sedang menyiram tanaman. Tidak ada kemarahan yang terlihat di wajahnya.

Dua minggu kemudian, ketiga anak tersebut kembali datang.

Carl melihat mereka dan menyapa mereka, “Halo anak-anak. Kalian mau minum?”

Kali ini, anak-anak ini tidak merampok Carl, tapi merebut penyiram tanaman Carl dan menyirami Carl hingga basah kuyup dari kepala sampai kakinya. Lalu mereka pergi, sambil tertawa dan mengejek-ejek namanya.

Meskipun sudah basah kuyup, Carl tetap mengambil penyiram tanamannya dan meneruskan menyiram tanaman-tanaman.

Sebulan kemudian, salah seorang dari anak-anak itu, anak yang paling tinggi, berjalan masuk ke dalam kebun mendatangi Carl. Carl melihatnya dan tersenyum, “Halo Nak…”

Anak itu memberi Carl sebuah kantong.

“Apa ini?” tanya Carl. Dia lalu membukanya dan melihat dompetnya dan jam tangannya di dalam kantong tersebut.

“Aku tidak bisa tidur semalam,” kata anak itu. “Kami melukaimu. Kami membencimu—tapi kamu tidak balik membenci kami. Kamu tetap baik pada kami… Aku tahu, aku harus mengembalikan ini semua padamu.”

Anak itu lalu pergi keluar dari kebun Carl, meninggalkan kantong itu pada Carl.

Beberapa waktu kemudian, Carl meninggal. Gereja berduka. Dan beberapa hari kemudian, sang pendeta kembali membuka lowongan tukang kebun gerejanya: “Kami membutuhkan sebuah sukarelawan baru untuk kebun Carl.”

Keesokan harinya, seorang remaja datang ke kantor sang pendeta.

Tanpa ragu, sang pendeta mengenali remaja tersebut. Dia adalah salah seorang dari tiga remaja yang menyerang Carl beberapa bulan lalu.

Remaja itu berkata, “Jika boleh, aku bersedia untuk mengurus kebun Carl.”

Sang pendeta tersenyum dan menerimanya sebagai tukang kebun menggantikan Carl.

Sejak hari itu, remaja itu datang ke kebun dan menyirami tanaman-tanaman itu setiap hari. Dia melakukan itu selama bertahun-tahun.

Suatu hari, remaja yang sudah menjadi dewasa dan berkeluarga itu datang ke gereja membawa seorang bayi di tangannya. Dia menemui sang pendeta dan bertanya, “Dapatkah pak pendeta membaptis bayi saya?”

“Apa nama yang kau berikan pada bayimu?” tanya sang pendeta.

“Carl,” jawab pemuda itu, tersenyum.

Kasih Berbeda dengan Bisnis

 

Ada satu bagian yang berkesan bagi saya dari kisah di atas. Itu adalah bagian yang mengubahkan hidup remaja itu: “Kami membencimu—tapi kamu tidak balik membenci kami.”

Apabila kita hanya mengasihi orang yang mengasihi kita, itu bukanlah kasih. Itu adalah bisnis.

Apabila kita mengasihi orang yang bahkan membenci kita, itulah kasih yang sejati.

Jangan salah sangka. Mengasihi orang yang membenci kita tidak berarti kita menerima semua perlakuan buruk mereka kepada kita. Dalam beberapa kasus, lari dari mereka mungkin adalah tindakan terbaik kita untuk mereka, sehingga mereka bisa menyadari kesalahannya. Namun, tetaplah lakukan semuanya itu atas dasar kasih, bukan karena dendam.

Kebaikan sederhana, dengan ketulusan yang luar biasa dapat mengubah orang lain. Namun lebih dari itu, saya percaya, sang pemberi kebaikan pun pasti akan berubah ketika melakukan kebaikan itu. Mereka akan lebih bahagia ketika memberikan kebaikan sederhana tersebut. Setidaknya, itu yang saya rasakan dari pengalaman-pengalaman saya.

Marilah kita tidak sekedar berbisnis, tapi juga mengasihi dengan tulus.

Tuhan memberkati kita semua,

Charles Christian

P.S. Untuk Yohanes, terima kasih untuk kebaikan sederhana ini, yang menginspirasi saya, dan juga menginspirasi tulisan ini.

Tag:, , , , , , , , ,

About Charles

Seorang alumni Fakultas Ilmu Komputer UI. Suka mengoleksi buku-buku dan membagikan inspirasi-inspirasi yang didapatkannya. Mencintai matematika dan logika sederhana. Hobinya adalah mencari inspirasi dan membagikannya. Seorang biasa yang percaya bahwa dia memiliki Tuhan yang luar biasa.

4 responses to “Kebaikan Sederhana, dengan Ketulusan yang Luar Biasa”

  1. vierhi says :

    makasi bang charles christian. . .

Trackbacks / Pingbacks

  1. Sharing Artikel|Charles Christian – PMK FKM UNDANA - 19 Desember 2016

Tinggalkan Balasan ke Alfonzo J A R Batalkan balasan